MORE THAN WORDS
Untuk menjelajah dunia kebahasaan termasuk filologi di sini tempatnya.
Sunday, July 5, 2009
Memang, pada dasarnya, yang penting dikembangkan bukanlah semata-mata bentuk penelitian filologisnya, melainkan lebih pada apresiasi kita terhadap naskah sebagai bagian dari masa lalu tersebut. Karena, jika memungkinkan, bisa saja apresiasi terhadap naskah itu tidak melalui kajian filologis, melainkan semata-mata dengan menjadikannya sebagai sumber primer penelitian. Dalam konteks ini, saya sering mencontohkan penelitian yang dilakukan Azyumardi Azra (1992). Meskipun tidak melalui sebuah kajian filologis, akan tetapi dengan sangat mengagumkan Azra berhasil memanfaatkan tidak kurang dari manuskrip sebagai sumber primernya untuk menelusuri keterkaitan para ulama Melayu-Indonesia dan “menjaringnya” dalam sebuah mata rantai yang sangat panjang —dan tentu saja sangat signifikan— dengan para ulama Timur Tengah abad 17 dan 18 (lihat Azra, 1994). Dari sini tampak jelas bahwa penelitian naskah seringkali mampu membantu mengungkap sebuah “misteri” yang sebelumnya tidak jelas “juntrungnya”.
Cara Kerja Penelitian Filologi
Sebuah penelitian filologis boleh dibilang berangkat dari sebuah asumsi dasar mengenai karakteristik naskah-naskah lama sebagai heritage yang diduga kuat banyak mengandung buah pikiran, perasaan, tradisi, adat-istiadat, dan budaya yang pernah ada, yang —ini yang paling penting— dianggap masih relevan dengan kondisi kekinian. Akan tetapi, —sekaligus merupakan karakteristik berikutnya— nilai-nilai berharga yang tersimpan dalam naskah-naskah tersebut, sayangnya, tertulis dalam alas naskah, semisal kertas, dluwang, daun lontar, atau bambu, dengan tinta di atasnya, yang biasanya akan rusak dimakan usia, sehingga kerusakan fisik naskah sangat mungkin terjadi. Selain itu, jika melihat tradisi penyalinannya, hampir semua naskah yang kita jumpai bukan merupakan naskah asli yang ditulis langsung oleh pengarangnya (otograf), melainkan hasil salinan yang kadang-kadang dilakukan secara berulang-ulang. Tradisi penurunan naskah seperti inilah yang kemudian menimbulkan apa yang disebut sebagai “varian” (teksteks salinan), yang ternyata sangat rentan terhadap terjadinya perubahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja sehingga tidak jarang teks yang kita jumpai sudah tidak setia lagi, tidak otentik, dan berbeda dari teks aslinya. Hal-hal inilah yang kemudian menjadi dasar kerja filologi; oleh karenanya seorang filolog, selain bertugas untuk “membersihkan” teks dari bentuk-bentuk korup dan salah, ia juga diharapkan mampu “meluruskan” dan menelusuri otentisitas suatu teks, sehingga apa yang kemudian dibaca oleh khalayak banyak, sesuai dengan, atau paling tidak mendekati teks aslinya (lihat Robson 1988: 9-11).
Kendati demikian, dalam perkembangannya, berbagai variasi dan atau perubahan yang terjadi akibat transmisi naskah tersebut tidak selamanya dipandang sebagai suatu bentuk kesalahan, korup, atau suatu bentuk keteledoran penyalin, melainkan lebih dianggap sebagai bentuk kreasi penyalin, yaitu hasil dari subjektifitasnya sebagai manusia penyambut teks (resipien), yang menghendaki salinannya diterima oleh pembaca sezamannya. Dengan cara pandang yang “lebih santun” ini, variasi dipandang secara positif, dan tujuan penelitiannya pun bergeser dari keharusan menemukan bentuk mula teks, atau yang paling dekat dengannya, menjadi kajian untuk menemukan makna kreasi yang muncul dalam variasi teks (lihat Baried dkk. 1994: 5-7).
Dengan berdasar pada asumsi bahwa peneliti sudah memutuskan naskah apa yang akan dijadikan sebagai objek penelitiannya, biasanya, sebuah penelitian filologis harus melalui beberapa tahapan berikut: inventarisasi naskah, pemerian naskah, perbandingan naskah, kritik teks, terjemahan (jika perlu), dan analisis isi.
Inventarisasi Naskah
Salah satu tujuan inventarisasi naskah adalah untuk mendaftarkan semua naskah yang akan diteliti —selanjutnya akan saya sebut “naskah penelitian”— di berbagai tempat penyimpanan naskah, seperti perpustakaan, museum, dan kalau mungkin, pada koleksi perorangan. Mendata keberadaan naskah penelitian ini tampaknya harus diupayakan semaksimal mungkin, mengingat —seperti telah diisyaratkan di atas—seringkali sebuah teks terdapat dalam beberapa salinan, sehingga kekurangan teks yang satu bisa ditutupi oleh teks lainnya. Sebenarnya, peneliti sekarang lebih beruntung dibanding para peneliti sebelumnya, karena berbagai katalog naskah untuk mengetahui keberadaan naskah penelitiannya sudah banyak ditulis. Persoalannya, di antara katalog
tersebut banyak yang berupa artikel dalam majalah langka semisal Archipel, BKI, Caraka, NBG, dll. ataupun berbentuk stensilan yang tidak dipublikasikan secara luas. Ditambah lagi, mutu dan tingkat perinciannya sangat beraneka ragam. Oleh karenanya, sebelum membuka-buka berbagai katalog tersebut, barangkali sebaiknya peneliti memulainya dengan menelusuri “identitas” dan karakteristik katalog itu sendiri melalui semacam “catalog of catalogues” yang juga telah beberapa kali ditulis. Khusus untuk menelusuri katalog naskah Melayu misalnya, peneliti bisa memanfaatkan karya Chambert-Loir (1980), “catalogue des catalogues de manuscrits malais”, yang dimuat dalam Archipel 20: 45-67. Kemudian untuk naskah Jawa, van der Molen juga pernah menulis “A Catalogue of Catalogues of Javanese MSS” dalam Caraka no. 4, April 1984:
12-49. Demikian halnya karya Ibrahim bin Ismail (1986), The Bibliographical Control of MSS in Southeast Asian Languages: A Review of Sources of Information, bisa digunakan untuk mengetahui semua bibliografi naskah Indonesia. Selain itu, Roger Tol juga pernah mendaftarkan semua catalog naskah Islam Indonesia dalam Geoffrey Roper (1994), World Survey of Islamic MSS. Kemudian, Herman C. Kemp (1998) —meskipun tidak secara spesifik membuat daftar bibliografi naskah— juga menulis entri
“manuscript” yang cukup memberikan kontribusi bagi dunia pernaskahan. Sedangkan “catalogue of catalogues” yang paling mutakhir adalah yang ditulis oleh Chambert-Loir & Fathurahman (1999), Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia Sedunia. Mungkin karena “lahir” paling belakangan, karya yang disebut terakhir ini bisa dianggap sebagai “catalogue of catalogues” terlengkap yang pernah ditulis, karena selain memuat semua data pada karya sebelumnya, ia juga mencakup 18 bahasa daerah di Nusantara, termasuk di dalamnya dua bahasa asing: Arab dan Belanda.
Melalui berbagai katalog dan “catalogue of catalogues” di atas, peneliti akan mendapatkan gambaran, berapa buah naskah yang akan ditelitinya, dan di mana saja naskah-naskah itu berada. Jika beberapa, atau bahkan mungkin semuanya, berada di luar negeri, peneliti bisa mendapatkan kopinya, atau kopi dari mikrofilnya. Dari pengalaman penelitian yang pernah saya lakukan, penting kiranya diperhatikan bahwa
ada kalanya antarkatalog itu menyebut judul yang berlainan untuk satu teks yang sama. Selain itu, tidak jarang informasi mengenai keberadaan suatu naskah tidak diperoleh dari katalog mana pun, melainkan dari artikel yang ditulis oleh seseorang. Ketika meneliti sebuah naskah karya Abdurrauf Sinkel, misalnya, naskah penelitian saya disebut oleh Berg (1873) sebagai Tanbih al-Masyi, itu pun digolongkan di dalam 21 naskah karya Syekh Yusuf Makassar, sedangkan katalog Ronkel (1913) menyebutnya sebagai At-Tariqah Asy-Syatariyyah. Dua katalog ini pun tidak menyebutkan keberadaan dua salinan naskah lainnya yang ternyata berada di Universiteits Bibliotheek, Leiden. Informasi terakhir ini justru saya dapatkan dari tulisan Voorhoeve (1952), Bajan Tadjalli: gegevens voor een nadere studie over Abdurrauf van Singkel”, TBG 85.
Pemerian Naskah
Tahap penelitian berikutnya adalah memetakan semua naskah yang telah kita peroleh dengan memerikannya sedetail mungkin. Pemerian naskah ini setidaknya bertujuan agar keadaan naskah diketahui “lahir batin”, menyangkut kondisi fisik maupun kandungan isinya. Dengan pemerian naskah ini peneliti juga akan dapat melakukan perbandingan naskah, dan akhirnya menentukan naskah mana yang akan dijadikan landasan. Ini tentu saja tidak berlaku jika naskah penelitiannya tunggal. Biasanya, pemerian naskah mencakup data-data pokok berikut:publikasi naskah, kode dan nomor naskah, judul naskah, pengarang, penyalin, tahun penyalinan, tempat penyimpanan naskah, asal naskah, pemilik, jenis alas naskah, kondisi fisik naskah, penjilidan, ada atau tidak adanya cap kertas (watermark), ada atau tidak adanya garis tebal (chain lines) dan garis tipis (laid lines), jarak antara garis tebal pertama sampai keenam, jumlah garis tipis dalam satu sentimeter, ada atau tidak adanya garis panduan yang ditekan (blind lines) atau penggarisan dengan tinta dan pensil, jumlah kuras dan lembar kertas, jumlah halaman, jumlah baris pada setiap halaman, panjang dan lebar halaman naskah dalam sentimeter, panjang dan lebar teks dalam sentimeter, ada atau tidak adanya penomoran halaman, ada atau tidak adanya alihan (catchword), ada atau tidak adanya iluminasi dan ilustrasi, huruf dan bahasa yang digunakan, jenis khat (tulisan) yang digunakan, warna tinta pada tulisan, ringkasan isi setiap teks, serta catatan-catatan lain yang dianggap perlu. Penting untuk dicatat, bahwa butir-butir di atas hanya dapat diperikan secara maksimal pada naskah yang diketahui secara utuh bentuk fisiknya. Sedangkan untuk naskah yang diperoleh dalam bentuk mikrofilm, hanya beberapa saja yang dapat diterapkan.
Perbandingan Naskah
Pertimbangan dilakukannya perbandingan naskah (collatio) adalah berangkat dari asumsi bahwa dalam tradisi penyalinan naskah yang selalu berulang-ulang, hampir tidak ada penyalin yang mampu membuat naskah salinan sama persis dengan aslinya, apalagi jika sebuah naskah disalin dari naskah salinan yang lain. Hal ini membuka kemungkinan timbulnya berbagai kesalahan atau perubahan yang pada akhirnya menimbulkan berbagai variasi bacaan. Oleh karenanya, perbandingan antarnaskah menjadi hal yang penting dilakukan dengan cara membandingkan, memilih bacaan terbaik, memperbaiki kesalahankesalahan, dan membakukan ejaannya (Robson, 1988: 18). Perbandingan naskah ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana variasi bacaan pada setiap naskah yang diteliti, serta untuk menentukan teks yang paling dapat dipertanggungjawabkan sebagai dasar edisi. Adapun hal yang diperbandingkan dalam penelitian ini mencakup antara lain: struktur teks, kandungan isi, serta bahasa dan ejaannya.
Kritik Teks
Kritik teks dapat dianggap sebagai salah satu tahap terpenting dari sebuah penelitian filologi. Kata “kritik” itu sendiri bisa berarti ‘sikap menghakimi dalam menghadapi sesuatu’ sehingga dapat berarti ‘menempatkan sesuatu sewajarnya’ atau ‘memberikan evaluasi’. Jadi, kritik teks berarti ‘menempatkan teks pada tempat yang sewajarnya, memberikan evaluasi terhadap teks, serta meneliti atau mengkaji lembaran naskah’ (Maas, 1972). Dalam konteks filologi, kritik teks sering kali ditujukan untuk mendapatkan bentuk teks yang asli, teks yang otentik, yang ditulis oleh pengarang sendiri (otograf). Target seperti ini sebenarnya jarang sekali terpenuhi, oleh karenanya, sebuah kritik teks paling tidak ditujukan untuk dapat mencapai ketetapan teks (constitutio textus), yaitu teks tersebut bisa sedekat mungkin dengan aslinya, bersih dari penyimpanganpenyimpangan atau kekeliruan, sehingga ia bisa dianggap sebagai tipe
mula atau naskah arketip (archetypus). Kalau naskah arketip ini pun tidak berhasil dijumpai, maka biasanya penelitian diarahkan untuk mencari naskah tertua, yang selanjutnya dijadikan sebagai landasan penelitian. Hal ini pernah dilakukan oleh L. F. Brakel ketika menyunting 30 naskah Hikayat Muhammad Hanafiyyah. Akan tetapi, penelusuran bentuk mula atau asal usul teks ini juga akan semakin terabaikan jika penelitian itu sendiri lebih menghargai variasi teks sebagai semata-mata bentuk kreativitas penyalin, sehingga yang dicari bukan bentuk mula teks, tetapi makna di balik keragaman itu. Jika telah melewati tahap kritik teks, barulah sebuah naskah dapat dimanfaatkan untuk berbagai penelitian disiplin ilmu lainnya, karena pada dasarnya, ia telah dapat dipertanggungjawabkan secara filologis. Dalam konteks ini, seorang filolog memang menjadi semacam “penjaga gawang” dari kesahihan naskah-naskah tersebut.
Tentu saja, dalam masing-masing penelitian, langkah-langkah praktis kritik teks ini bisa berbeda-beda, tergantung dari kondisi naskah penelitiannya. Dan biasanya, kritik teks juga mencakup upaya transliterasi, yaitu alih aksara dari jenis yang satu ke jenis yang lain. Beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan landasan dalam proses transliterasi teks, antara lain:
a. Pemberian pungtuasi, titik, koma, titik koma, tanda hubung dan pembagian paragraf, karena pada umumnya, sebuah teks kuna tidak menggunakan tanda-tanda tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman isi teks.
b. Perbaikan teks, yang meliputi penggantian, penambahan, dan penghapusan bacaan yang dianggap menyimpang. Bacaan pengganti diusahakan berasal dari teks pendukung, dan jika tidak dijumpai, maka bacaan langsung diperbaiki berdasarkan kesesuaian dengan kaidah-kaidah baku, sedangkan bacaan teks standar yang diganti, diletakkan dalam aparat kritik (semacam footnote atau endnote). Dalam hal tidak adanya teks pendukung ini, perbaikan teks —jika memang harus dilakukan— terkadang juga ‘terpaksa’ menggunakan intuisi yang tepat. Ini pernah dilakukan oleh A. Teeuw c.s. ketika menyunting Siwaratrikalpa of Mpu Tanakung. Sedangkan penambahan dilakukan pada bagian teks yang tertinggal. Adanya bacaan yang tertinggal tersebut diketahui dari kelengkapan teks pendukung yang sekaligus menjadi sumber untuk bacaan yang ditambahkan. Sedangkan penghapusan bacaan dilakukan pada bagian yang benar-benar dianggap sebagai bacaan menyimpang dan diperkuat oleh teks pendukung, atau merupakan pengulangan. Bagian bacaan yang dihapus ini selanjutnya diletakkan dalam aparat kritik supaya tidak mengganggu kelangsungan teks utama.
c. Kata dari teks pendukung ditulis dalam aparat kritik hanya jika berbeda dengan kata pada teks standar.
Terjemahan
Terjemahan ini dilakukan jika bahasa teks berasal dari bahasa asing seperti bahasa Belanda dan Arab, atau bahasanya dianggap tidak banyak dikenal oleh khalayak umum, seperti bahasa-bahasa daerah, antara lain: bahasa Jawa, Sunda, Aceh, Wolio, dan lain-lain. Adapun untuk naskah berbahasa Melayu misalnya, umumnya tidak diterjemahkan, melainkan ditranskripsi (alih aksara).
Analisis Isi
Pada awal perkembangannya di Nusantara, penelitian filologi sebenarnya tidak sampai pada tahap telaah isi teks, melainkan berhenti pada tahap terjemahan, atau catatan-catatan kecil belaka. Upaya terjemahan itu sendiri didorong oleh semakin dibutuhkannya kemampuan berbahasa Melayu oleh kaum kolonial atau para misionaris,
yang mempunyai kepentingan untuk berkomunikasi langsung dengan bangsa pribumi, atau yang bermaksud mengajarkan kitab Injil. Beberapa abad berikutnya, yaitu mulai sekitar akhir paruh pertama abad 19 hingga kurang lebih seratus tahun berikutnya, perhatian terhadap naskah-naskah Nusantara mulai diberikan oleh para ahli filologi Eropa yang berupaya untuk menyunting, membahas serta menganalisis isinya, meskipun saat itu masih terbatas pada naskah Melayu dan Jawa. Beberapa suntingan yang dihasilkan pada periode ini antara lain: Geschiedenis van Sri Rama oleh Roorda van Eysinga (1843), Arjoena-Wiwaha dan Bomakarya oleh Th. A. Friederich (1850), Ramayana Kakawin oleh H. Kern (1900), dan beberapa teks Mahabharata oleh H.H. Juynboll (1906), dll. Pada awalnya, minat untuk melakukan telaah atas naskah-naskah
Nusantara masih didominasi oleh para sarjana orientalis Barat saja, khususnya para sarjana dari Belanda (Baried 1994: 45-48, Siti Hawa 1994: 1). Kegairahan para sarjana pribumi sendiri untuk mengkaji naskahnaskah Nusantara tersebut kiranya baru muncul sesudah tahun 1965, ketika mulai terjalin berbagai kerja sama penelitian antara perguruan tinggi di Indonesia dengan sejumlah institusi di luar negeri. Sebelum itu, kepakaran sarjana-sarjana pribumi di bidang pernaskahan ini belum terbina. Achadiati Ikram bahkan menyebut zaman pendudukan Jepang dan periode tahun 1959-1965 sebagai suatu periode kemandekan dalam ilmu pengetahuan budaya (Ikram 1997: 2). Memang, sebelum tahun 1965 tersebut juga telah tercatat, setidaknya nama Hoesein Djajadiningrat dengan karyanya Beschouwing van de Sadjarah Banten (1913), dan Poerbatjaraka dengan karyanya, antara lain Arjuna-Wiwaha (1926) (lihat Baried 1994: 45-54, bandingkan dengan Ikram 1980: 36-37). Kedua sarjana pribumi ini telah menunjukkan minat besarnya terhadap kajian naskah-naskah Nusantara, akan tetapi setelah itu, hingga pertengahan tahun 1960-an tersebut, tidak banyak lagi sarjana pribumi yang mengikuti jejak mereka. Penting dicatat bahwa mulai awal tahun 1960-an pula, berbagai teori sastra, seperti strukturalisme, intertekstualitas, resepsi, beserta tokohtokohnya, mulai dikenal oleh kalangan perguruan tinggi, tak terkecuali oleh para peminat kajian naskah. Maka, nama-nama seperti Robert Jausz, Riffaterre, dan Roland Barthes pun, mulai mewarnai berbagai wacana penelitian filologi masa itu (lihat Ikram 1997: 2). Hal ini tentu saja sedikit banyak mengubah jenis pendekatan dalam penelitian filologi. Jika sebelumnya, kajian naskah lebih diarahkan pada suntingan teks, sejarah teks, dan pengungkapan bahasa atau ajaran yang terkandung di dalamnya, maka setelah dikenalnya berbagai teori sastra tersebut, para filolog —selain tetap melakukan suntingan teks—mendapatkan piranti baru untuk mencari makna teks melalui suatu telaah struktur karya (Siti Hawa 1994: 2).
Dalam era ini, penting disebut sejumlah sarjana yang menerapkan pendekatan baru, khususnya dengan menerapkan teori strukturalisme, dalam studi naskah tersebut, seperti Achadiati Ikram dengan penelitiannya atas Hikayat Sri Rama (1979), Hikayat Hang Tuah (Sutrisno 1983), Partini Pradotokusumo dengan Kakawin Gajah Mada (1984; Selain strukturalisme, dalam penelitiannya ini, Pradotokusumo juga sekaligus menerapkan pendekatan intertekstual), Edwar Djamaris dengan Tambo Minangkabau (1991), Nafron Hasyim dengan Kisasul Anbiya (1991), dan beberapa sarjana lainnya. Kemudian, contoh penelitian filologi yang menerapkan analisis resepsi, antara lain: Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks dan Analisis Resepsi (Soeratno 1988), Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuno lewat Tanggapan dan Penciptaaan di Lingkungan Sastra Jawa (Wiryamartana 1990), dan Hikayat Meukuta Alam: Suntingan teks dan terjemahan beserta telaah struktur dan resepsinya (Abdullah 1987) (lihat Baried 1994: 50-54, dan Ikram 1997: 2-3). Berbagai pendekatan teori sastra dalam mengkaji naskah-naskah kuno tersebut tentu saja telah memberikan kontribusi besar terhadap dunia pernaskahan khususnya, dan dunia keilmuan umumnya. Para filolog menjadi lebih sistematis dalam upayanya menelusuri makna dan fungsi naskah sebagai sebuah jenis sastra lama (Ikram 1997: 3). Hingga kini, pendekatan kajian naskah dengan memanfaatkan berbagai teori sastra tersebut masih menjadi kecenderungan umum (trend) yang banyak diikuti oleh para pengkaji naskah generasi berikutnya. Lebih dari itu, kajian naskah dengan menggunakan pendekatan berbagai teori sastra tersebut juga tidak hanya dimanfaatkan oleh mereka yang mengkaji naskah-naskah sastra, melainkan juga mereka yang memilih naskah-naskah keagamaan, baik yang berbahasa Melayu maupun Arab, sebagai objek penelitiannya. Di antara mereka adalah Amir Fatah (1997), yang meneliti naskah tasawuf Al-îikam dengan pendekatan teori strukturalisme dan Fauzan Muslim (1996), yang memilih naskah tasawuf Ibnu ‘Arabi, Kunhu Mâ Lâ Budda Minhu, dengan pendekatan hermeneutik. Fathurahman melakukan penelitian atas naskah Tanbîh al-Mâsyî (1998), menerapkan kajian intertekstual untuk mengetahui makna dan fungsi teks dalam konteks sosial historisnya. Dan sejauh penelitian Fathurahman, pemanfaatan pendekatan intertekstual ini mampu memaknai sebuah teks yang semula tampak ‘biasa-biasa’ saja. Dikatakan demikian, karena pada dasarnya, secara intrinsik struktur teks Tanbîh al-Mâsyî karangan Abdurrauf Singkel tidak berbeda dengan teks-teks tasawuf pada umumnya, yakni terdiri dari ajaran akidah, syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Akan tetapi, melalui kajian intertekstual —saat itu dengan beberapa teks tasawuf lain karangan Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri—, ternyata apa yang diungkap oleh Abdurrauf dalam teks ini menjadi lebih hidup, dan berbicara banyak tentang dinamika pemikiran keagamaan pada masanya (lihat Fathurahman 1999a).
Tampaknya, penerapan berbagai pendekatan tersebut dalam penelitian filologi mendapat sambutan positif dari para peneliti, karena dengan model tersebut, orientasi telaah filologi tidak kemudian terbatas pada suntingan teks atau penelusuran otentisitas teks belaka, melainkan lebih dari itu dapat merambah pada pengungkapan makna dan
fungsinya. Ini pada akhirnya juga akan semakin mendukung usaha pemahaman serta penelusuran makna dan fungsi sastra lama itu sendiri. Dan inilah sesungguhnya tugas utama seorang filolog, yaitu untuk menyajikan naskah kuna agar dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh pihak lain (Robson 1988: 40).
Sebagai konsekuensi dari adanya sikap ‘banting stir’ para peneliti dalam memilih model analisis dalam penelitian filologi tersebut, memang muncul semacam pergeseran cara pandang terhadap eksistensi sebuah teks kuna, yang seringkali hadir dalam bentuknya sebagai salinan atau turunan (arketip/hiparketip) dari teks aslinya (otograf). Sebelumnya, penelitian filologi selalu menempatkan kepentingan masalah keaslian teks sebagai prioritas utama, karena setiap perbedaan (variant) yang muncul dalam teks salinan, selalu dipandang sebagai bentuk kekeliruan dan penyimpangan yang harus diluruskan. Akan tetapi, setelah wacana penelitian filologi diperkaya dengan berbagai pendekatan teori sastra, cara pandang tersebut mulai ditinggalkan. Semua teks, kini mendapat penghargaan sebagai hasil penciptaan suatu masyarakat pada suatu zaman tertentu; berbagai perbedaan yang muncul dalam teks pun kemudian dipandang positif sebagai bentuk resepsi dari masyarakat pembacanya, yang memiliki kreatifitas dan jiwa
kepengarangan (tentang contoh penyalin sebagai pembaca dan pengarang, lihat Chambert-Loir 1984). Tentu saja, alih pandang seperti ini tidak serta merta berarti mengenyampingkan pentingnya penelusuran sebuah teks dalam bentuk aslinya. Namun, kemandirian sebuah teks, setidaknya kini mendapatkan apresiasi yang lebih besar.
Daftar Kepustakaan
Abdullah, Wamad & Tgk. M. Dahlan al-Fairusy, Katalog Manuskrip Perpustakaan Pesantren Tanoh Abèe Aceh Besar, Buku I, Banda Aceh: PDIA, 48 hlm., stensil, 1980.
Al-Attas, Syed Muhammad Naguib, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Penerbit Mizan, 1994.
Baried, Siti Baroroh dkk., Pengantar Teori Filologi, Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, cetakan II, 1994.
Berg, L. W. C. van den, Codicum Arabicorum in Bibliotheca Societatis Artium et Scientiarum Quae Bataviae Floret Asservatorum Catalogus, Batavia-Den Haag: Wijt & Nijhoff, 1873.
Brakel, L.F. Hikayat Muhammad Hanafiyah, terjemahan oleh Junaidah Salleh, Mokhtar Ahmad, dan Nor Azmah Shehidan, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988.
Chambert-Loir, Henri, “catalogue des catalogues de manuscrits malais”, dalam Archipel 20: 45-67, 1980.
-----------------, “Muhammad bakir; A Batavia Scribe and Author in the Nineteenth Century”, Rima, 18, 1984.
Chambert-Loir, Henri & Fathurahman, Oman, Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia Sedunia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, kerja sama dengan EFEO, 1999.
Christomy, Tommy, “Shattariyyah Order in West Java: The Case of Pamijahan”, Studia Islamika, vol. 8, no. 2, 2001, h. 55-82.
Christomy, Tommy, 2003, “Signs of the Wali: Narratives at the Sacred Sites in Pamijahan, West Java”, disertasi di Australian National University.
Djamaris, Edwar “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi” dalam Bahasa dan Sastra, 1977.
Doorenbos, Johan, De Geschriften van Hamzah Pansoeri, Leiden: Batteljee & Terpstra, 1933.
Drewes, G. W. J., “The Admonitions of She Bari; A 16th Century Javanese Muslim Tekst Attributed to The Saint of Bonang”, reedited and translated with an introduction. Bibliotheca Indonesica published by KITLV 4, The Hague, 1969.
Drewes, G. W. J. & Brakel, L. F., The Poems of Hamzah Fansuri, Netherlands: Foris Publications Holland, 1986.
Fathurahman, Oman Tanbih Al-Masyi Al-Mansub Ila Tariq Al-Qusyasyi, Tanggapan As-Sinkili Terhadap Doktrin Wujudiyyah di Aceh Abad XVII: Suntingan Teks dan Analisis Isi, Tesis UI, 1998 (terbit sebagai Fathurahman 1999a).
-----------------, Tanbîh al-Mâsyî. Menyoal Wahdatul Wujud; Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, Bandung: Penerbit Mizan bekerja sama dengan EFEO, Jakarta, 1999a.
-----------------, “Penelitian Naskah-naskah Arab: Mengejar Ketinggalan” dalam Al-Turas, Nomor 08, 1999b.
Hasjmi, A., Ruba’i Hamzah Fansuri, Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1976.
Ibrahim bin Ismail, The Bibliographical Control of MSS in Southeast Asian Languages; A Review of Sources of Information, Thesis submitted for fellowship of the Library Association, IX-477 hlm., 1981, (tidak terbit).
Ibrahim Ismail, Engku & Osman Bakar, Bibliografi Manuskrip Islam di Muzium Islam Malaysia, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Melayu Universiti Malaya dan Bahagian Hal Ehwal Islam, Jabatan Perdana Menteri, (Khazanah Siri Dokumentasi Akademi Pengajian Melayu Bil 8), XI-236 hlm. (10 foto), 1992.
Ikram, Achadiati, “Kegiatan Filologi di Indonesia: Suatu Tinjauan Sejarah” dalam Bahasa dan Sastra, tahun VI, no. 6, 1980.
-----------------, Filologia Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997.
Kemp, Herman. C., Bibliographies on Southeast Asia, Leiden: KITLV, XVII-1.128 hlm. (Bibliographical Series 22), 1998.
Lubis, Nabilah, Zubdat Al-Asrar fi Tahqiq Ba’d Masyarib Al-Akhyar Karya Syekh Yusuf Al-Taj; Suatu Kajian Filologi, disertasi IAIN, 1992, (terbit sebagai Lubis 1996).
-----------------, Syekh Yusuf Makassar: Menyingkap Intisari Segala Rahasia, Bandung: Mizan, kerja sama dengan EFEO dan FSUI, 1996.
Maas, Paul, Textual Criticism, Oxford, 1960.
Molen, Willem van der, “A Catalogue of Catalogues of Javanese MSS” dalam Caraka no. 4, April 1984: 12-49.
Muslim, Fauzan, Kunhu Ma La Budda Minhu, Tesis UI, 1996, (tidak terbit).
Nieuwenhuijze, C. A. O. van, Samms’l Din van Pasai: Bijdragen tot de kennis der Soematraansche Mystiek, Leiden: Brill, 1945.
Purwadaksi, Ahmad, Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman: Suntingan Teks dan Kajian Isi Teks, disertasi UI, 1992 (tidak terbit).
Robson, S. O., Principles of Indonesian Philology, Leiden: Foris Publication, 1988.
Ronkel, Ph. S. van, Supplement to the Catalogue of Arabic Manuscripts Preserved in the Museum of Batavia Society of Arts and Sciences, Batavia: Albrecht, 1913.
Sedyawati, Edi, “Menyikapi Warisan Budaya” dalam Media Indonesia, 25 Maret 2000.
-----------------, Naskah: Artinya Sebagai Sasaran Kajian dan Sebagai Warisan Budaya Bangsa, sambutan dalam pembukaan Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara II, Manassa, Depok, 26 November 1998.
Tjandrasasmita, Uka, Beberapa Catatan Tentang Naskah-naskah Kuno Islami di Indonesia, makalah dalam rangka Pameran Festival Istiqlal II di Jakarta, 23 September 1995.
Tol, Roger, “Indonesia” dalam Roper, Geoffrey (ed.) World Survey of Islamic MSS, London: Al-Furqan Islamic Heritage Foundation, Vol. 3.1994, h. 181-211.
Tudjimah, Asrar Al-Insan fi Ma’rifa Ar-Ruh Wa ‘L-Rahman, disertasi UI, 1961 (tidak terbit).
Voorhoeve, P., Bajan Tadjalli: gegevens voor een nadere studie over Abdurrauf van Singkel, TBG 85, 1952.
-----------------, Twee Maleische geschriften van Nuruddin ar-Raniri, Leiden: Brill, 1955.
-----------------, Handlist of Arabic Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Collection in the Netherlands, (Codices Manuscripti), Leiden University Press/The Hague/Boston/London, 1980.
Metode Penentuan Naskah Dasar Suntingan
dan Metode Penyuntingan Naskah
Pertama kali saya akan menjelaskan terlebih dahulu kedua istilah yang menjadi bagian dari judul yang digunakan. Kedua istilah yang saya maksud adalah “metode penentuan naskah dasar suntingan” dan “metode penyuntingan naskah”. Saya menggunakan istilah yang pertama untuk merujuk kepada metode yang digunakan dalam menetapkan sebuah atau sekelompok naskah yang menjadi dasar suntingan. Jadi bisa dikatakan metode yang pertama saya sebut tersebut merupakan metode pra-penyuntingan. Sementara metode terakhir merupakan metode yang digunakan pada saat tengah menyunting sebuah atau sekelompok naskah baik menjadi edisi kritis atau menjadi edisi diplomatis. Saya cenderung menyebutnya sebagai metode penyuntingan naskah saja.
Saya akan mencoba memaparkan beberapa informasi pada dua buku pegangan yang dijadikan perdoman pembahasan topik ini. Dua buku yang saya maksud adalah pertama buku berjudul Prinsip-prinsip Filologi Indonesia oleh S. O. Robson, dan kedua buku dengan judul Pengantar Teori Filologi yang disusun Siti Baroroh Baried dkk.. Keduanya memuat informasi mengenai metode yang digunakan dalam kajian filologis.
Robson dalam bukunya Prinsip-prinsip Filologi Indonesia menjelaskan metode penyuntingan dalam dua bab, bab IV; Metode Penyuntingan : Stemma, dan bab V; Metode penyuntingan : Diplomatis atau Kritis? Dalam bukunya tersebut nampak sekali Robson menggunakan istilah stemma secara eksplisit sebagai metode penyuntingan. Metode stemma sebagaimana dipaparkan Baried dkk., adalah metode obyektif yang sampai kepada silsilah naskah (Baried dkk., 1994 :67). Metode diplomatis serta Kritis bagi Robson menempati status sebagai mana posisi stemma. Dengan begitu bagi Robson stemma memiliki makna yang sangat luas tidak hanya metode penentuan naskah dasar tetapi juga memuat metode penyuntingan dalam pengertian rekonstruksi naskah.
Sementara dalam bab V, tentang metode diplomatis ataukah kritis, Robson, mengutip pendapat De Haan, menuliskan “Jika seseorang ingin memberikan contoh kepada pembacanya mengenai cara sebuah teks untuk dideklamasikan, diungkapkan dalam naskah yang dimaksudkan untuk itu, maka bentuk publikasi yang sesuai adalah jiplakan dan edisi diplomatic. Akan tetapi, jika seseorang ingin menerbitkan teks itu seperti fungsinya pada abad ke- 14 (abad-abad sebelumnya), maka ia harus memberikan kepada pembaca edisi kritis” (Robson, 1994 : 22).
Pada bab IV mengenai teori filologi dan penerapannya, khususnya pada sub-bab point B mengenai kritik teks, Baroroh Baried dkk. menyebutkan beberapa hal yang terkait dengan metode penelitian naskah. Di antaranya adalah item nomor 2 mengenai transliterasi yang diartikan sebagai penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad satu ke abjad yang lain. Dijelaskan pula pada bagian tersebut bahwa transliterasi berguna untuk memperkenalkan teks-teks lama yang tertulis dengan huruf daerah karena ketidakakraban pembaca masa kini dengan aksara-aksara tersebut. Selanjutnya pada item nomor 3 dijelaskan tentang perbandingan teks dengan langkah-langkah sebagai berikut :
- Resensi, yakni membaca dan melakukan penilaian terhadap semua naskah yang ada.
- Eliminasi, yakni melakukan penyisihan teks kopi yang tidak relevan dengan tujuan penelitian.
- Eksaminasi, yakni pemeriksaan keaslian teks apakah terdapat hal-hal seperti korup, lacuna, maupun interpolasi. Perunutan keaslian teks dapat menggunakan pemeriksaan kecocokan metrum dalam teks puisi, kesesuaian dengan teks cerita, gaya bahasa, latar budaya, atau sejarah.
Sementara itu pada sub-bab C tentang metode penelitian, dijelaskan beberapa item yang berkaitan, namun saya menduga item-item ini bukanlah merupakan langkah-langkah penelitian yang disusun secara urut dikarenakan pada point ketiga dicantumkan nomenklatur ‘susunan tema’ padahal poin-poin sebelumnya menggunakan nomenklasi yang ‘agak tepat’ untuk disebut sebagai langkah penelitian. Secara utuh saya sampaikan poin-poin (Baried dkk., 1994 :65-70) tersebut di bawah ini :
- Pencatatan dan pengumpulan naskah
- Metode kritik teks, yang masih dibagi lagi ke dalam beberapa metode yakni metode intuitif, obyektif, gabungan, landasan, dan metode edisi naskah tunggal yang masih memiliki klasifikasi selanjutnya yaitu edisi standard an edisi kritik.
- Susunan stemma
- Rekonstruksi teks.
Perlu diperikan lebih lanjut mengenai metode kritik teks yang disebut di atas yang masih dibagi lagi ke dalam beberapa metode.
Pertama, intuitif yang seringkali disamakan dengan metode subyektif yakni dengan cara mengambil naskah yang dianggap paling tua. Di tempat-tempat yang dianggap tidak betul atau tidak jelas, naskah itu diperbaiki dengan memakai akal sehat,selera baik, dan pengetahuan luas.
Kedua, metode obyektif yakni penelitian sistematis mengenai perkerabatan naskah-naskah. Apabila dari sejumlah naskah ada beberapa naskah yang memiliki kesalahan yang sama pada tempat yang sama pula, maka dianggap berasal dari satu sumber (yang hilang). Sehingga terbentuk silsilah naskah. Sesudah itu baru dilakukan kritik teks. Metode obyektif yang sampai kepada silsilah naskah disebut metode stemma.
Ketiga, metode gabungan yakni apabila nilai naskah menurut penelitinya hamper sama. Umumnya dipilih bacaan mayoritas atas dasar perkiraan naskah lain sebagai saksi bacaan yang betul. Teks hasil suntingan merupakan teks baru yang merupakan gabungan bacaan dari semua naskah yang ada.
Keempat, metode landasan yakni peneliti memilih satu atau segolongan naskah yang unggul kualitasnya. Kemudian naskah tersebut dijadikan landasanatau induk teks.
Kelima, metode edisi naskah tunggal, yakni dengan dua cara edisi diplomatic dan edisi standar atau edisi kritik sebagaimana telah dibicarakan pada pembahasan Robson di atas (Baried dkk., 1994 : 66-68).
Saya beralih kembali kepada pembicaraan awal yakni mengenai metode penentuan naskah dasar dan metode penyuntingan yang memiliki karakter yang sangat berbeda dikarenakan tujuan yang akan dicapai juga berbeda sebagaimana penyebutan nomenklatur masing-masing metode. Namun demikian menjadi hal yang agak rumit ketika tidak ada satu referensipun yang secara eksplisit menyebutkan keduanya sebagai dua metode yang terpisah. Demikian halnya ketika saya melihat beberapa tesis dan disertasi yang membicarakan tentang metode penelitian naskah yang digunakan para penulisnya, mereka cenderung menjabarkan secara global dan terkesan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang sudah mafhum dan tidak memerlukan penjelasan lebih jauh.
Berikut ini saya akan mengutip beberapa penjelasan yang saya temukan pada bab pendahuluan beberapa tesis dan disertasi dalam menjelaskan metode penelitiannya. Marsono mendeskripsikan metodenya dengan cara demikian :
…Akhirnya, dengan melihat asal-usul naskah yang berasal dari tiga tradisi yang berbeda, perbandingan struktur puisi tembang melalui jumlah pupuh-pupuhnya, dan perbandingan inti ceritanya, naskah A, B, C, serta D dapat dikelompokkkan menjadi tiga. Isi teksnyapun juga dapat dibagi menjadi tiga versi. Kelompok yang pertama naskah A dan B. Kedua naskah C, dan ketiga naskah D. Naskah A kualitas bacaannya lebih baik daripada B, C, dan D. (Marsono, 1996 : 97).
Lain halnya dengan Sangidu pada Disertasinya Wachdatul Wujud dalam Maaul Chayaat Li Ahlil Mamaat menjelaskan sebagai berikut :
… Maaul Chayaat sebagai salah satu karya sastra Melayu dapat dibaca melalui empat buah naskah salinannya, yaitu naskah A, B, C, dan D. dalam menghadapi keempat naskah tersebut maka yang pertama dilakukan adalah membandingkan keempat naskah dan menetapkan satu naskah unggul sebagai teks suntingan. Perbandingan terhadap keempat naskah tersebut memerlukan metode filologi yang sesuai dengan kondisi naskah dan terkenal dengan metode landasan atau induk (Legger).
Perbandingan empat buah naskah tersebut dilakukan dalam kaitan nya dengan kegiatan memilih naskah yang unggul. Setelah keempat naskah tersebut dibandingkan dari aspek bahasa, sastra, sejarah, dan lainnya, maka selanjutnya dimanfaatkan metode landasan (Sangidu, 2002 : 18-19).
Sudibyo dalam bagian pendahuluan tesisnya juga memberikan penjelasan mengenai metodenya sebagai berikut :
… Sehubungan dengan itu, agar teks HPJ (Pen. Hikayat Pandawa Jaya) dapat dibaca oleh masyarakat masa kini, teks itu terlebih dahulu perlu ditransliterasikan ke dalam aksara Latin. Pentransliterasiannya dilakukan dengan mengikuti prinsip metode penyuntingan kritis.
Sebagaimana disebutkan di muka, “kritik” berarti penyunting mengidentifikasi sendiri bagian-bagian dalam teks yang mungkin bermasalah serta menawarkan jalan keluar. Untuk itu, suntingan diterbitkan dengan membetulkan kesalahan-kesalahan, keajegan-keajegan yang terdapat dalam naskah, menerapkan pungtuasi, serta menetapkan standarisasi ejaan sesuai dengan system ejaan yang berlaku. Catatan-catatan yang timbul karena keinginan untuk menghilangkan hambatan-hambatan untuk pemahaman teks ditetapkan dalam aparat kritik (Sudibyo, 2001 : 26-27).
Saya melihat apa yang dipaparkan Marsono pada kutipan di atas merupakan pemaparan metode pra-penyuntingannya dengan proses-proses perbandingannya baik struktur maupun isi puisi. Kemudian ketika dia berhasil menentukan hubungan antra naskah-naskah yang diteliti dan menilai kualitas naskah A sebagai naskah terunggul berarti metode stemma tampak telah sukses digunakannya. Dalam hal ini sebenernya kutipan tersebut belum masuk pada proses penyuntingan dalam pengertian rekonstruksi naskah. Sementara itu dalam kutipan tesis Sangidu terdapat penjelasan adanya dua metode terangkum di sana. Lebih jauh Sudibyo menjelaskan secara eksplisit proses transliterasi dan upaya pembetulan teks dari kesalahan-kesalahan.
Penjelasan metode yang lebih sistematis saya temukan dalam disertasi Emuch Hermansoemantri (1979) yang memaparkan langkah penerapan metodenya sebagai berikut :
- Pengumpulan bahan, melalui studi perpustakaan dan studi lapangan. Studi perpustakaannya pun masih diperinci lagi dengan langkah-langkah yang secara eksplisit disebutkan mulai dari inventarisasi naskah, penilikan naskah sampai dengan pengumpulan naskah.
- Pentrankripsian naskah-naskah (terutama naskah primer)
- Penilaian (kritik teks), diperikan lagi menjadi a) pengamatan yang cermat terhadap naskah yang telah ditranskripsikan, b) Pembandingan antar naskah (kolasi), c) Pertimbangan naskah, terutama menimbang kualitas varian, kuantitas dan jenis korup, d) Penyimpulan dalam diagram silsilah
Penyusunan/ penetapan kembali naskah
Kesimpulan
Berdasarkan uraian sederhana di atas, saya mencoba mencari benang merah yang merupakan kesimpulan sementara.
1. Metode penentuan naskah dasar atau saya sebut metode pra-penyuntingan paling tidak mencakup proses-proses inventarisasi naskah-naskah, komparasi, penilaian atau dengan nomenklatur lain resensi, eliminasi dan eksaminasi.
2. Metode penyuntingan naskah yang merupakan tahap rekonstruksi naskah bisa dilaksanakan dengan mempertimbangkan sifat-sifat yang dimiliki masing-masing naskah yang dijadikan obyek. Jika naskahnya tunggal kemungkinan metode yang dapat diterapkan adalah edisi diplomatic dan edisi kritik. Namun jika naskah yang dihadapi lebih dari satu bahkan dalam banyak kesempatan berjumlah sangat banyak maka dapat dipergunakan metode-metode seperti landasan (legger), metode gabungan, dan metode obyektif.
3. Metode obyektif yang sampai kepada silsilah dan disebut juga metode stemma belakangan menuai banyak kritik khususnya dalam berhadapan dengan naskah-naskah nusantara yang berkarakter unik yakni penyalin sebagai pencipta kedua karena masih memahami bahasa naskah yag disalinnya sehingga selera penyalin tak dapat dihindari.
4. metode stemma merupakan trademark pendekatan histories yang memang booming pada abad ke-19. Sementara pendekatan yang berorientasi kepada pembaca dalam hal ini berkaitan dengan pendapat penyalin sebagai pembaca dan pencipta kedua mendapat perhatian lebih pada abad ke – 20.
Demikianlah uraian singkat yang dapat saya ketengahkan. Semoga ada manfaatnya.
Daftar Pustaka
- Siti Baroroh Baried dkk., Pengantar Teori Filologi, Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1994
- S. O. Robson, Prinsip-prinsip Filologi Indonesia, RUL, Jakarta, 1994
- Emuch Hermansoemantri, Sejarah Sukapura; Sebuah Telaah Filologis, Disertasi, Jakarta, 1979
- Marsono, Loka Jaya; Suntingan Teks, Terjemahan,Struktur Teks, Analisis Intertekstual dan Semiotik, Disertasi, Yogyakarta, 1996
- Sangidu, Wachdatul Wujuud dalam Maaul Chayaat Li Ahlil Mamaat, Disertasi, Yogyakarta, 2002
- Sudibyo, Hikayat Pandawa Jaya, Tesis, 2001
Monday, June 29, 2009
soal filologi
Soal-soal Filologi
1. Jelaskan konsep tentang naskah dan teks? (skor 10)
2. Mengapa kritik teks dianggap penting dalam penelitian filologi? Apa pula yang termasuk kegiatan kritik teks? Jelaskan! (skor 20)
3. Maaul Chayaat sebagai salah satu karya sastra Melayu dapat dibaca melalui empat buah naskah salinannya, yaitu naskah A, B, C, dan D. Bagaimana langkah-langkah selanjutnya jika yang dipilih adalah metode landasan? (skor 30)
4. Jika terdapat karya sastra X dengan 4 variasi naskah yakni E, F,G, H maka bagaimana langkah selanjutnya jika yang dipilih adalah metode objektif hingga sampai pada silsilah naskah (metode stemma)? Jelaskan! (skor 40)
Sunday, June 28, 2009
Monday, April 6, 2009
PSIKOLINGUISTIK
Psikolinguistik
Manusia adalah makhluk yang dibekali dengan seperangkat sistem yang super canggih. Dengan seperangkat sistem tersebut menjadikannya berbeda dengan mahluk yang lain. Tuhan membekali manusia dengan sebuah “komputer” yang teramat canggih dan dilengkapi semacam “hardisk” dengan kapasitas tak terbatas. “Komputer” ini memegang kendali semua aktivitas manusia, dari mengedipkan mata, menggerakkan tangan, berjalan, menulis, membaca, berbicara, dan sebagainya. Ia juga mengendalikan semua aktivitas resepsi dan persepsi kita. Ia adalah otak kita.
Dengan kemampuan otaknya, manusia bisa membayangkan dan melakukan apa saja. Hal-hal yang dulu terlihat mustahil menjelma menjadi kenyataan berkat kemampuan otak manusia. Otak pulalah (dan tentu saja dibantu oleh organ-organ wicara) yang memungkinkan manusia bisa berbahasa. Melalui bahasa, manusia bisa berkomunikasi, bersosialisasi, dan bertukar pendapat dengan manusia lain.
Memang bukan hanya manusia yang bisa berkomunikasi dengan bahasa. Banyak hewan yang juga bisa berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa mereka. Simpanse, lebah, dan lumba-lumba adalah beberapa jenis binatang yang bisa berkomunikasi dengan bahasanya. Namun, bahasa bagi mereka hanya berfungsi sebagai alat komunikasi kepada sesama jenisnya dengan topik yang sangat terbatas. Akan tetapi dengan bahasanya manusia bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berlainan bahasa dengan topik yang tidak terbatas.
Menurut Chomsky, manusia mempunyai piranti pemerolehan bahasa (language acquisition device) yang tidak dipunyai oleh mahluk lain. Dengan piranti bahasa tersebut manusia bisa belajar berbagai macam bahasa sekaligus memproduksi bahasa tersebut. Bahkan manusia bisa berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Ringkasnya, manusia bisa menggunakan bahasa dengan berbagai tujuan dan cara. Bahasa juga bersifat khas manusia, artinya hanya manusia yang dapat berbahasa. Para ahli telah berusaha mati-matian untuk mengajari hewan tertentu (misalnya simpanse bernama Washoe dan Sarah serta seekor gorilla bernama Koko) agar bisa berbahasa, namun hasilnya tidak sesuai harapan (Steinberg dkk., 2001 dan Aitchison, 1983).
Perkembangan kemampuan manusia dalam berbahasa dimulai sejak manusia dilahirkan. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa sejak dalam kandungan manusia sudah bisa berkomunikasi (dalam arti merespon suatu stimulus). Mereka menemukan bahwa fungsi otak dan denyut jantung janin juga dipengaruhi oleh keadaan di luar lingkungannya.
Ciri-Ciri Bahasa Manusia
Bahasa adalah seperangkat sistem bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk berkomunikasi antaranggota suatu guyuban dengan latar belakang budaya yang sama. Sistem yang dimaksud di sini adalah adanya elemen-elemen yang apabila dirangkai menurut pola tertentu akan membentuk sebuah jalinan yang logis. Salah satu contohnya adalah sistem bunyi. Bila bunyi-bunyi dalam suatu bahasa berdiri secara isolasi maka tidak akan ada artinya. Namun bila bunyi-bunyi tersebut dirangkai berdasarkan pola tertentu yang sistematis maka akan menjadi sebuah bentuk berupa kata.
Arbitrer yang dimaksud dalam definisi bahasa di atas adalah tidak adanya keterkaitan antara simbol-simbol tertentu dengan entitas dan kejadian yang diwakilinya. Kearbitreran simbol ini bersifat konvensional dan hanya dapat digunakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bagi manusia bahasa adalah juga sebuah simbol untuk membangun dan melambangkan keberadaan mereka dan hal-hal lain di sekitar mereka. Simbol-simbol tersebut diciptakan manusia untuk berbagai kepentingan, baik yang berhubungan dengan pemertahanan hidup maupun aktualisasi pribadinya.
Komponen bahasa terdiri atas fonologi, sintaktik, dan semantic (Dardjowidjojo, 2005). Komponen fonologi mempelajari bagaimana bunyi-bunyi membentuk suatu sistem dalam sebuah bahasa. Komponen sintaksis mengkhususkan diri pada pembahasan kata, frasa, klausa, dan kalimat, sedangkan komponen semantik mempelajari segala hal tentang makna. Dengan sistem yang dimilikinya, bunyi-bunyi dalam sebuah bahasa dapat dibentuk menjadi gabungan bunyi yang harmonis dengan aturan yang disebut fonotaktik. Dengan adanya aturan fonotaktik ini bunyi-bunyi digabung atau dirangkai dengan rapi dan terstruktur menurut pola-pola tertentu. Setelah bunyi-bunyi dirangkai dan membentuk berbagai macam kata maka langkah selanjutnya adalah bagaimana merangkai atau mengurutkan kata-kata tersebut menjadi sebuah kalimat. Ini adalah tugas komponen sintaksis. Kata-kata tersebut harus disusun sedemikian rupa agar menghasilkan kalimat yang runtut, jelas, logis, tidak membingungkan. Dalam hal ini komponen sintaksis dibantu oleh komponen semantik.
Hockett dalam bukunya A Course in Modern Linguistics (1958) mengatakan bahwa paling tidak ada enam belas fitur yang menjadi ciri bahasa manusia (lihat pula Dardjowidjojo, 2005 dan Aitchison, 1983). Fitur-fitur tersebut ditampilkan sebagai berikut.
b) Bunyi bisa dikirimkan ke semua arah, adanya dua telinga sangat membantu dalam melacak dan menentukan posisi sumber bunyi dengan tepat.
c) Bersifat sesaat, bunyi yang didengar mudah hilang sehingga sangat membantu dalam menangkap bunyi selanjutnya.
d) Dapat dipertukarkan, penutur atau pemroduksi bunyi dapat pula menjadi pendengar dan sebaliknya.
e) Umpan balik bunyi, pemroduksi bunyi masih bisa mendengar suaranya sendiri sehingga bunyi tersebut bisa disesuaikan atau diubah sesuai kebutuhan.
f) Kekhususan, bunyi yang diproduksi dikhususkan untuk kebutuhan komunikasi.
g) Semantisitas, bunyi yang dihasilkan mengandung makna dan acuan sehingga bila suatu nama sudah diberikan maka nama itu akan selalu merujuk pada benda itu.
h) Konvensional, sistem dan makna dalam suatu bahasa bersifat konvensional dan disetujui oleh masyarakat penggunanya.
i) Unsurnya dapat dipilah-pilah, bunyi-bunyi yang dihasilkan dapat dipilah-pilah atau dipecah-pecah; kalimat bisa dipilah-pilah menjadi frasa, frasa menjadi kata, kata menjadi morfem, dan seterusnya.
j) Bebas topik, manusia bisa menggunakan bahasa dengan topik yang tidak terbatas, bahkan untuk hal-hal yang belum ada.
k) Produktivitas atau keterbukaan, semua sistem dalam bahasa membuka peluang untuk pembaruan atau penemuan baru berkaitan dengan sistem bahasa itu.
l) Sosialisasi, manusia menguasai bahasa pertamanya melalui proses sosialisasi dengan lingkungannya.
m) Dualitas, bunyi-bunyi dalam sebuah bahasa tidak memiliki arti bila berdiri sendiri dan baru mempunyai makna setelah dirangkai mengikuti sebuah pakem tertentu.
n) Refleksivitas, bahasa manusia bisa mempelajari dirinya sendiri.
o) Sistemnya bisa dipelajari, manusia bisa mempelajari bahasa lain dan menggunakannya.
p) Bisa untuk berbohong, bahasa manusia bisa digunakan pula untuk menerangkan suatu kejadian atau peristiwa yang sebenarnya tidak terjadi.
Definisi Filologi
Bagi para cendekiawan yang berkecimpung di bidang ilmu humaniora, kata “filologi” bukanlah sebuah kata asing yang sama sekali belum pernah didengar. Kata “filologi” justru sangat akrab di telinga mereka karena bagaimana pun ilmu yang mereka geluti pasti ada hubungannya dengan “filologi”, entah ilmu itu menjadi ilmu bantu bagi “filologi” entah sebaliknya. Namun, apa sebenarnya “filologi” itu? Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli, yang jika disatukan kiranya akan saling melengkapi.
Menurut Kamus Istilah Filologi (Baroroh Baried, R. Amin Soedoro, R. Suhardi, Sawu, M. Syakir, Siti Chamamah Suratno: 1977), filologi merupakan ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraan-nya. Hal serupa diungkapkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa: 1988). Sementara itu dalam Leksikon Sastra (Suhendra Yusuf: 1995) dikatakan bahwa dalam cakupan yang luas filologi berarti seperti tersebut di atas, sedangkan dalam cakupan yang lebih sempit, filologi merupakan telaah naskah kuno untuk menentukan keaslian, bentuk autentik, dan makna yang terkandung di dalam naskah itu.
Tidak jauh berbeda dari definisi-definisi di atas Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain) (J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain: 1994) menekankan bahwa filologi meneliti dan membahas naskah-naskah lama sebagai hasil karya sastra untuk mengetahui bahasa, sastra, dan budaya bangsa melalui tulisan dalam naskah itu. Sementara W.J.S. Poerwadarminta (1982) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia lebih menekankan bahwa filologi mempelajari kebudayaan manusia terutama dengan menelaah karya sastra atau sumber-sumber tertulis.
Sebagai bukti bahwa ilmu lain pun menaruh perhatian terhadap filologi atau bahkan memerlukan filologi, Koentjaraningrat, dkk. (1984) dalam Kamus Istilah Antropologi mengungkapkan filologi sebagai ilmu yang mempelajari bahasa kesusastraan dan sejarah moral dan intelektual dengan menggunakan naskah kuno sebagai sumber.
Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986) dalam Pemandu di Dunia Sastra mengungkapkan asal kata filologi, yaitu “philos” dan “logos” yang berarti cinta terhadap kata. Sementara itu tugas seorang filolog adalah membanding-bandingkan naskah-naskah kuno untuk melacak versi yang asli, lalu menerbitkannya dengan catatan kritis.
Webster’s New Collegiate Dictionary (1953) mendefinisi-kan filologi ke dalam tiga hal, yaitu:
cinta pengetahuan atau cinta sastra, yaitu studi sastra, dalam arti luas termasuk etimologi, tata bahasa, kritik, sejarah sastra dan linguistik; ilmu linguistik; studi tentang budaya orang-orang beradab sebagaimana dinyatakan dalam bahasa, sastra, dan religi mereka, termasuk studi bahasa dan perbandingannya dengan bahasa serumpun, studi tata bahasa, etimologi, fonologi, morfologi, semantik, kritik teks, dll.
Berbeda dengan kamus yang lain, Dictionary of World Literature (Joseph T. Shipley, ed.: 1962) memuat definisi filologi secara panjang lebar. Dalam kamus ini dijelaskan asal kata filologi dan orang-orang yang pertama kali menggunakan kata itu. Di samping itu dijelaskan pula perkembangan ilmu filologi di beberapa tempat. Misalnya pada abad ke-19 istilah filologi di Inggris selalu berhubungan dengan ilmu linguistik. Filologi juga termasuk dalam teori sastra dan sejarah sastra. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa kritik sastra tidak mungkin ada tanpa filologi.
Jika setiap definisi tersebut kita cermati lebih lanjut, setidak-tidaknya sebagian kecil dari masing-masing definisi ada yang sama. Setiap definisi menggolongkan filologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan. Filologi berhubungan erat dengan bahasa, sastra, dan budaya. Filologi menelaah bahasa, sastra, dan budaya itu dengan bersumber pada naskah-naskah kuno. Dari naskah-naskah kuno itu dapat diketahui pula perkembangan bahasa, sastra, budaya, moral, dan intelektual suatu bangsa.